Fenomena Mahasiswa FOMO Menggunakan Strava, Antara Gaya Hidup Sehat dan Pencitraan Digital


Dalam beberapa bulan terakhir, muncul fenomena unik di kalangan mahasiswa, yaitu maraknya penggunaan aplikasi Strava. Aplikasi yang awalnya dirancang untuk pelari dan pesepeda profesional ini kini telah menjadi bagian dari gaya hidup mahasiswa di berbagaikampus. Strava tidak hanya digunakan untuk mencatat jarak tempuh atau kecepatan olahraga, tetapi juga menjadi media sosial baru tempat berbagi aktivitas fisik. Banyak mahasiswa mengunggah hasil jogging pagi, bersepeda sore, atau bahkan sekadar berjalan ke warung dekat kos. Fenomena ini mencerminkan bagaimana budaya FOMO (Fear of Missing Out) semakin mengakar dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Mereka takut tertinggal dari tren sehingga ikut serta agar dianggap aktif dan produktif.

Di sisi positif, tren ini membawa banyak manfaat bagi kalangan mahasiswa. Strava berhasil memotivasi mahasiswa untuk hidup lebih sehat dan aktif secara fisik. Fitur seperti kudos, leaderboard, dan segment challenge menumbuhkan semangat kompetisi yang menyenangkan. Olahraga pun tidak lagi terasa membosankan, melainkan menjadi kegiatan sosial yang penuh dukungan dan kebersamaan. Banyak mahasiswa yang akhirnya rutin berolahraga karena termotivasi oleh aktivitas teman-temannya di aplikasi tersebut. Dengan demikian, Strava berperan sebagai alat untuk menjaga konsistensi dan mencatat perkembangan diri, terutama di tengah kesibukan akademik yang padat.

Namun, di balik sisi positif itu, terdapat pula dampak negatif yang patut diperhatikan. Banyak mahasiswa menggunakan Strava bukan karena keinginan untuk hidup sehat, melainkan karena dorongan untuk tampil eksis. Aktivitas olahraga yang seharusnya bersifat pribadi kini berubah menjadi tontonan publik. Terdapat kecenderungan menjadikan Strava sebagai ajang pamer pencapaian, seperti siapa yang paling jauh berlari atau paling banyak mendapat kudos. Media digital akhirnya mengubah makna aktivitas sederhana menjadi simbol status sosial baru. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan sosial di dunia maya dapat memengaruhi perilaku mahasiswa dalam dunia nyata.

Kampus seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter yang mampu menyeimbangkan gaya hidup modern dengan nilai kesederhanaan. Penggunaan Strava dapat diarahkan untuk membangun budaya hidup sehat di lingkungan kampus. Misalnya, dengan mengadakan fun run atau kompetisi olahraga berbasis komunitas yang menekankan kebersamaan, bukan pencitraan. Dosen dan organisasi mahasiswa juga dapat berperan dalam mengedukasi pentingnya menjaga makna olahraga yang sesungguhnya. Mahasiswa perlu diajak untuk merefleksikan tujuan mereka berolahraga, apakah untuk kesehatan tubuh atau hanya demi pengakuan. Dengan kesadaran tersebut, Strava dapat menjadi media positif untuk mempererat solidaritas, bukan memperlebar kesenjangan sosial digital.

Pada akhirnya, fenomena mahasiswa FOMO menggunakan Strava bukan sekadar tren digital biasa. Ia mencerminkan dinamika sosial generasi muda yang hidup di persimpangan antara dunia nyata dan dunia maya. Teknologi memang memudahkan, tetapi juga bisa mengaburkan makna aktivitas manusia jika digunakan tanpa kesadaran. Menjadi aktif dan sehat adalah hal yang baik, namun harus disertai niat yang tulus. Mahasiswa perlu belajar menempatkan teknologi sebagai alat bantu, bukan sumber validasi diri. Sebab pada akhirnya, yang terpenting bukan seberapa jauh kita berlari, melainkan seberapa dalam kita memahami makna dari setiap langkah yang kita ambil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lebih dari Sekedar Tempat Makan

Kantin UNP Kembali Padat

MAHASISWA UNP KELUHKAN TERBATASNYA FASILITAS KANTIN KAMPUS